07 Juli 2008

Bermain, Atasi Kecemasan Anak


LEPAS dari lingkungan rumah untuk pertama kalinya, misalnya saat anak pertama kali menjalani pendidikan di taman kanak-kanak, merupakan tugas yang tidak mudah, baik bagi anak maupun orang tua.
Salah satu permasalahan yang biasa muncul adalah rasa cemas anak untuk berpisah dari orang tua atau pengasuhnya. Para psikolog menyebutnya dengan separation anxiety disorder, yaitu ketakutan dan tegangan yang berlebihan pada anak ketika diminta berpisah dari figur lekat utama.
Tegangan ini dapat muncul dalam bentuk kekhawatiran terhadap keamanan orang yang berpisah darinya, menolak pergi ke sekolah, gangguan tidur, dan keluhan-keluhan sakit fisik. Barlow & Beck (dalam Weems & Carrion, 2003) menjelaskan bahwa kecemasan pada anak umumnya terjadi karena peran proses belajar, pemikiran, dan aspek fisiologis dari gangguan kecemasan.
Ketika permasalahan seperti ini terjadi pada anak Anda, maka jangan paksakan anak untuk segera beradaptasi dengan lingkungan barunya karena dapat menambah pengalaman negatif anak yang berdampak pada munculnya seri permasalahan selanjutnya. Selain perlu mengetahui penyebab utamanya, Anda juga perlu segera melakukan sesuatu sebelum permasalahan berikutnya muncul.
Salah satu hal yang dapat Anda lakukan untuk mencapai dua tujuan tersebut adalah mengajaknya bermain. Axline (1947) mengatakan bahwa bermain merupakan media alami bagi ekspresi diri anak. Permainan yang Anda lakukan bersama anak ini dapat menjadi sebuah terapi, yang disebut terapi bermain (Schaefer, 2003).
Dengan terapi bermain, anak memiliki kesempatan untuk ‘memainkan’ perasaan dan permasalahannya, anak merasa menjadi orang yang paling penting, mengatur situasi dan dirinya, tidak ada kritikan dan aturan, dan dapat diterima secara penuh (Axline, 1947). Situasi seperti ini sangat kondusif untuk anak yang sedang mengalami kecemasan, sehingga rasa amannya terpenuhi.
Dalam tulisan ini akan diperkenalkan salah satu jenis terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan kecemasan, yakni terapi bermain, khususnya dengan pendekatan kognitif perilakuan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam tahap terapi bermain dengan pendekatan ini antara lain:
1. Membangun rasa aman.Ketika anak mengalami kecemasan karena harus berelasi dengan dunia baru, hal yang dibutuhkan anak adalah rasa aman, maka ciptakan rasa aman pada diri anak dengan menungguinya di sekolah untuk beberapa saat.
2. Merubah pemikiran yang salah. Anak yang mengalami kecemasan berpisah biasanya telah mengembangkan pemikiran yang salah tentang dunia barunya, misalnya dengan menganggap teman-teman barunya nakal, gurunya galak, pelajarannya sulit, atau hal-hal negatif lainnya. Pemikiran anak ini perlu segera diubah dengan cara memperlihatkan fakta yang sebaliknya.
3. Ajak anak bermain bersama. Permainan yang digunakan tergantung pada pilihan anak. Yakinkan bahwa anak menjadi aktor utama dalam permainan tersebut dan beri kesempatan untuk banyak bermain peran. Melalui peran sebagai aktor utama ini, anak telah mengekspresikan secara bebas apa yang sedang dialaminya. Manfaatkan ekspresi anak ini untuk menggali apa yang sebenarnya menjadi penyebab utama kecemasan anak.

Dari sini, Anda dapat mengubah pemikiran keliru anak secara tidak langsung melalui percakapan dengan aktor utama. Guna mendukung efektivitas terapi ini, lakukan terapi ini di lingkungan sekolah bersama teman-teman sekelas, agar perasaan positif terhadap sekolah dapat terbentuk. (sumber: kompas.com)
penulis:
Y. Titik Kristiyani, S.Psi. Staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, sedang menempuh program magister profesi psikologi bidang pendidikan di UGM

Pengaruh Permainan pada Perkembangan Anak

Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Ada orang tua yang berpendapat bahwa anak yang terlalu banyak bermain akan membuat anak menjadi malas bekerja dan bodoh.
Anggapan ini kurang bijaksana, karena beberapa ahli psikologi mengatakan bahwa permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi permainan anak:
1. Kesehatan Anak-anak yang sehat mempunyai banyak energi untuk bermain dibandingkan dengan anak-anak yang kurang sehat, sehingga anak-anak yang sehat menghabiskan banyak waktu untuk bermain yang membutuhkan banyak energi.
2. Intelegensi Anak-anak yang cerdas lebih aktif dibandingkan dengan anak-anak yang kurang cerdas. Anak-anak yang cerdas lebih menyenangi permainan-permainan yang bersifat intelektual atau permainan yang banyak merangsang daya berpikir mereka, misalnya permainan drama, menonton film, atau membaca bacaan-bacaan yang bersifat intelektual.
3. Jenis kelamin Anak perempuan lebih sedikit melakukan permainan yang menghabiskan banyak energi, misalnya memanjat, berlari-lari, atau kegiatan fisik yang lain. Perbedaan ini bukan berarti bahwa anak perempuan kurang sehat dibanding anak laki-laki, melainkan pandangan masyarakat bahwa anak perempuan sebaiknya menjadi anak yang lembut dan bertingkah laku yang halus. 4. Lingkungan Anak yang dibesarkan di lingkungan yang kurang menyediakan peralatan, waktu, dan ruang bermain bagi anak, akan menimbulkan aktivitas bermain anak berkurang.
5. Status sosial ekonomi Anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang status sosial ekonominya tinggi, lebih banyak tersedia alat-alat permainan yang lengkap dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan di keluarga yang status ekonominya rendah.
Pengaruh bermain bagi perkembangan anak :
  • Bermain mempengaruhi perkembangan fisik anak
  • Bermain dapat digunakan sebagai terapi
  • Bermain dapat mempengaruhi pengetahuan anak
  • Bermain mempengaruhi perkembangan kreativitas anak
  • Bermain dapat mengembangkan tingkah laku sosial anak
  • Bermain dapat mempengaruhi nilai moral anak
Macam-macam permainan dan manfaatnya bagi perkembangan jiwa anak:
A. Permainan Aktif
1. Bermain bebas dan spontan atau eksplorasi Dalam permainan ini anak dapat melakukan segala hal yang diinginkannya, tidak ada aturan-aturan dalam permainan tersebut. Anak akan terus bermain dengan permainan tersebut selama permainan tersebut menimbulkan kesenangan dan anak akan berhenti apabila permainan tersebut sudah tidak menyenangkannya. Dalam permainan ini anak melakukan eksperimen atau menyelidiki, mencoba, dan mengenal hal-hal baru.
2. Drama Dalam permainan ini, anak memerankan suatu peranan, menirukan karakter yang dikagumi dalam kehidupan yang nyata, atau dalam mass media.
3. Bermain musik Bermain musik dapat mendorong anak untuk mengembangkan tingkah laku sosialnya, yaitu dengan bekerja sama dengan teman-teman sebayanya dalam memproduksi musik, menyanyi, berdansa, atau memainkan alat musik.
4. Mengumpulkan atau mengoleksi sesuatu Kegiatan ini sering menimbulkan rasa bangga, karena anak mempunyai koleksi lebih banyak daripada teman-temannya. Di samping itu, mengumpulkan benda-benda dapat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Anak terdorong untuk bersikap jujur, bekerja sama, dan bersaing.
5. Permainan olah raga Dalam permainan olah raga, anak banyak menggunakan energi fisiknya, sehingga sangat membantu perkembangan fisiknya. Di samping itu, kegiatan ini mendorong sosialisasi anak dengan belajar bergaul, bekerja sama, memainkan peran pemimpin, serta menilai diri dan kemampuannya secara realistik dan sportif.
B. Permainan Pasif
1. Membaca Membaca merupakan kegiatan yang sehat. Membaca akan memperluas wawasan dan pengetahuan anak, sehingga anakpun akan berkembang kreativitas dan kecerdasannya.
2. Mendengarkan radio Mendengarkan radio dapat mempengaruhi anak baik secara positif maupun negatif. Pengaruh positifnya adalah anak akan bertambah pengetahuannya, sedangkan pengaruh negatifnya yaitu apabila anak meniru hal-hal yang disiarkan di radio seperti kekerasan, kriminalitas, atau hal-hal negatif lainnya.
3. Menonton televisi Pengaruh televisi sama seperti mendengarkan radio, baik pengaruh positif maupun negatifnya.
(dikutip dari berbagai sumber)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

12 Juni 2008

"YA UDAH, AKU KABUR AJA!!"

Mengancam pergi dari rumah kerap dilancarkan anak usia sekolah dasar. Ada apa??

Masih ingat berita tentang anak yang kabur dari rumah dengan membawa uang Rp100 juta? Tentu itu bukan satu-satunya kasus anak kabur dari rumah. Kasus anak kabur cukup banyak terjadi dengan latar belakang kisah berbeda. Kebanyakan dari mereka kabur ke rumah tetangga, teman, atau kerabat. Kaburnya pun sebatas beberapa jam saja, tak sampai berhari-hari. Maklum, ruang lingkup penjelajahan anak 6- 12 tahun masih terbatas. Yang jadi pertanyaan, alasan apa yang mendorong seorang anak berani kabur dari rumah?

Meskipun daya jelajahnya masih terbatas, kemampuan berpikir anak usia sekolah rupanya sudah sangat berkembang dibandingkan sebelumnya. Ia sudah mampu menyerap berbagai informasi entah itu dari teve, koran, majalah, dan pergaulan. Anak usia ini pun sudah bisa memutuskan apa yang akan dilakukan, selain sudah mengerti nilai uang. Pendek kata, anak usia ini relatif merasa bisa melakukan sesuatu secara mandiri. Termasuk keberanian untuk kabur dari rumah.

KURANG PERHATIAN

Lalu apa saja faktor yang bisa memicu anak kabur dari rumah??

* Dimarahi orangtua

Kalau kita perhatikan, kasus anak kabur dari rumah rata-rata lantaran habis dimarahi orangtua. Artinya, anak merasa tak nyaman dan tak aman berada di rumah berhubung faktor utama ini tak didapatnya di rumah. Perasaannya jadi kesal dan bete gara-gara dimarahi, akhirnya dia memilih kabur dari rumah, entah itu ke rumah teman, tetangga atau kerabat.

* Meniru dari media

Faktor lainnya adalah peniruan. Dalam hal ini, pengaruh dari media massa, terutama teve, sangat luar biasa dalam memberi dampak kurang baik bagi anak. Misalnya, berita mengenai anak kabur, anak bunuh diri, anak tak mau sekolah dengan alasan tak ada uang, semua itu ditonton dan masuk dalam pemikiran anak. Ujung-ujungnya, informasi semacam itu dapat memancingnya bersikap serupa ketika menemukan masalah yang sama. Kalau kemudian merasa tak nyaman di rumah, yang tercetus dalam pikiran anak adalah kabur.

* Kurang mendapat perhatian

Boleh jadi anak kabur dari rumah lantaran kurang mendapat perhatian orangtua. Nah, kalau ternyata ketika kabur dari rumah dia mendapat perhatian dari orangtua, aksi ini kemudian dijadikan alat bagi anak untuk menarik perhatian. Lain kali ketika anak merasa kurang mendapat perhatian lagi, maka dengan cara kaburlah dia kembali berusaha mencari perhatian. Kelak ketika beranjak remaja atau dewasa pun, perilaku seperti ini sangat mungkin menjadi sesuatu yang biasa baginya.

* Tak ada kedekatan dengan orangtua

Mirip dengan faktor di atas. Intinya, tidak ada kedekatan antara anak dan orangtua, baik secara fisik maupun emosi. Kalau orangtua kelewat sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, bisa jadi anak terpikir kabur karena keadaan di rumah yang kurang "hangat". Di sini, kabur dari rumah menjadi suatu bentuk protes anak terhadap orangtua. Sebaliknya, orangtua melihat kejadian ini sebagai bentuk kenakalan anak.

Nah, akibat tak terjalin kedekatan secara fisik maupun emosi, kebanyakan orangtua sama sekali tak mengerti dan tak berusaha mengerti apa yang dirasakan anak. Padahal beban anak di sekolah dengan sekian banyak mata pelajaran tentu terasa amat memberatkan. Belum ikut ekstrakurikuler dan les ini-itu. Tak heran kalau anak kurang istirahat dan merasa stres. Seharusnya orangtua memaklumi kalau anak lelah capek. Biarkan ia beristirahat sejenak nonton acara teve kegemarannya tanpa harus menuntutnya mengerjakan PR saat itu juga. Akumulasi kekecewaan akibat merasa tak dimengerti oleh orangtuanya inilah yang akhirnya membuat anak "meledak" dengan cara kabur dari rumah.

MENCARI JEJAK

Apa yang harus dilakukan jika anak kabur dari rumah??

* Segera cari dan jemput

Agar tak berlarut-larut, sesegera mungkin hubungi teman-teman dekatnya, tetangga, atau kerabat untuk memastikan keberadaan anak. Bila sudah diketahui keberadaannya, sebaiknya orangtua sendirilah yang menjemputnya. Jangan membiarkan, mendiamkan atau menuntutnya pulang sendiri. Setidaknya langkah ini akan membuat anak merasa diperhatikan dan dianggap penting.

Jangan memarahinya "hanya" karena telah membuat bingung seisi rumah. Ketika kembali ke rumah, anak sudah dibebani rasa malu. Jangan menambah rasa malunya dengan kemarahan ataupun sindiran yang menyakitkan. Misalnya, "Oh... ternyata kamu pulang juga. Kenapa enggak pergi aja lagi!" Komentar negatif seperti ini hanya akan membuat anak merasa tak diinginkan di rumah. Akibatnya, selain didera rasa malu sekaligus rasa bersalah, ia pun merasa bingung dan kehilangan rasa percaya diri.

* Ajak bicara

Tanyakan baik-baik kenapa ia sampai lari dari rumah. Gali terus apa yang mengganjal perasaannya. Bukakan wawasannya bahwa masalah sebetulnya tidak akan terasa kelewat berat jika diceritakan pada orangtua agar dicarikan solusinya. Jadi, begitu anak kembali berada di tengah keluarga, segera bahas masalah yang mengganjal hatinya dan bantu dia mencari jalan keluar. Pada intinya lagi-lagi dituntut kesediaan orangtua untuk memahami permasalahan anak sekaligus memberi rasa aman dan nyaman.

* Jelaskan

Jelaskan pada anak kalau kabur dari rumah bukanlah sikap terpuji. Apalagi kabur dari rumah jelas memunculkan masalah baru sementara masalah yang dihadapinya semula juga belum terselesaikan sama sekali. Biarkan anak tahu kalau orangtua dilanda kebingungan dan ketakutan selama anak tidak di rumah. Dengan begitu anak belajar berempati bahwa tindakannya berdampak merepotkan orang rumah.

* Beri hukuman

Boleh-boleh saja memberi hukuman pada anak. Apa bentuknya? Hukuman yang efektif adalah menutup akses terhadap hal-hal yang disukainya. Misalnya, anak suka nonton film kartun. Untuk sementara waktu jangan perbolehkan dia nonton. Kalau sebelumnya anak dijanjikan akan dibelikan sepeda, sepatu, diajak berlibur atau apa pun, maka tunda dulu rencana-rencana tadi sampai ia menunjukkan perubahan sikap ke hal positif.

* Ubah haluan

Seperti halnya anak, orangtua pun harus mengubah sikapnya. Konkretnya, dengan lebih memerhatikan dan menjalin kedekatan bersama anak. Kedekatan semacam inilah yang memungkinkan orangtua mampu mengetahui masalah yang dialami anak. Kalau orangtua tak menunjukkan perubahan sikap, jangan heran kalau di lain waktu anak justru akan menjadikan kabur ini sebagai sarana mencari perhatian. Bukankah saat kabur, perhatian seisi rumah tertuju padanya?

* Komunikasi dua arah

Yang jelas, perlu ada komunikasi efektif secara 2 arah. Kalau ada pemberitaan mengenai anak kabur, contohnya, diskusikan hal ini dengan anak. “Menurut kamu bagaimana Nak? Apa akibatnya?” Biarkan dia mengemukakan pendapatnya sekaligus mencari solusinya. Bacakan/dengarkan saja beritanya dulu. Memberlakukan komunikasi efektif membuat anak berani untuk mengutarakan apa pun yang jadi ganjalan hatinya. Bisa bicara langsung dengan ayah-ibu, ataupun lewat tulisan kalau merasa segan karena takut dimarahi..

sumber: klik link disamping...

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

09 Juni 2008

lembaga autisme area jawa tengah

Pada kasus anak-anak, pusat terapi juga dikenal dengan istilah klinik tumbuh kembang..

Beragam terapi ditawarkan, seperti:

  1. terapi wicara (speech therapy)
  2. terapi edukasi/remedial (baca-tulis-hitung dasar)
  3. terapi okupasi (motorik)
  4. terapi multimodal (gabungan terapi)
  5. terapi musik
Berdasarkan pendekatan yang digunakan, kita juga mengenal adanya terapi ABA (Loovas ), Sensory Integration (SI), Floor Time, dsb..

Sebenarnya pusat terapi tidak hanya untuk anak, tetapi juga ada yang disediakan untuk orang dewasa, misalnya fisioterapi dan terapi okupasi..

ini sebagian nama dan alamat lembaga autis area jawa tengah dan sekitarnya termasuk DIY..

(1)

Nama: Alamanda "Brighter Kids"

Spesifikasi: Autisme & Gangguan Tumbuh Kembang

Alamat: Jl. Kasuari III, No. 1 Manahan-Solo Jawa Tengah

Telepon: 0271 – 733738

Email: alamanda_solo(at)yahoo.com

(2)

Nama: Pusat Pengkajian & Pengembangan Tumbuh Kembang Anak

Spesifikasi: Tumbuh Kembang Anak

Alamat: Taman Siswa Gg Pranacitra 108/712 Yogyakarta

Telepon: 0274-560278

Email --

* untuk lebih lengkapnya silahkan login pada link disamping, terima kasih...

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~